Sang Pencerah Ataukah "Sang Pengacau"?

Ilustrasi


“Akh, udah nonton film Sang Pengacau belum?”

Sebuah SMS dari sahabatku.

“Sang Pengacau? Filmnya K.H Ahmad Dahlan itu? Koq Pengacau?!?!”

“Iya. Kan pengacau itu. Ngacaukan arah kiblat, ngacaukan takhayul, bid’ah dan khurafat. He he he…”

Ini hanya guyonan sahabatku saat menunggu pintu masuk menonton film “Sang Pencerah”.


***



Film itu bercerita tentang seorang pemimpin pergerakan Muhammadiyah. Muhammad Darwis nama kecilnya. Pemuda Jawa tumbuh sebagaimana pemuda yang lainnya. Pada lingkungan yang sama tempat anak-anak yang lain berkembang, pada pendidikan yang sama, pada kultur dan budaya yang sama. Ia juga menyaksikan rusaknya aqidah umat, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan yang sama akibat penjajahan kolonial Belanda saat itu. Dari sedikit biografi yang pernah saya baca tentang Darwis muda, tidak ada yang istimewa.

Namun, hasilnya kemudian berbeda. Ia muncul sebagai pembaharu dan pemimpin. Lantas, dimanakah rahasianya? Belajar dari sejarah para pahlawan Mukmin, ada dua faktor.

Pertama, semua itu sepenuhnya adalah karunia Allah SWT untuk masyarakat yang hidup di zamannya. Sebab, Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika Allah SWT meridhai suatu kaum, maka Allah akan mengangkat orang-orang terbaik dari mereka sebagai pemimpin. Dan jika Allah memurkai suatu kaum, maka Allah akan mengangkat orang-orang terjahat dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Tirmizi)

Kedua, Dahlan muda mempersepsi lingkungannya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Pada banyak orang di masyarakatnya, keterbelakangan akibat penjajahan dianggap sebagai nasib yang niscaya dan tidak dapat diubah. Dahlan justru melihat keterbelakangan itu sebagai objek yang harus diubah dan kendali perubahan itu ada pada manusia. Jadi, sejak awal ia berpikir sebagai pelaku dan perubah. Dia mungkin lapar, tetapi ia lebih banyak memikirkan kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. Dia mungkin dari keluarga tidak terdidik, tetapi dia kemudian berpikir menjadi otodidak dan mengembangkan pendidikan. Begitulah akhirnya ia menjadi Sang Pencerah.

Akan tetapi, tanpa tahu kisah hidup beliau dari film atau biografinya, mungkin hanya sedikit orang yang tahu berapa besar pajak yang harus dibayar hingga namanya turut meghiasi zamrud khatulistiwa yang mengalungi sejarah Indonesia. Kita juga tidak pernah tahu bagaimana beliau mengalami keterasingan, isolasi, dan ditinggalkan kaumnya. Saat itu, tidak semua orang dapat memahaminya. Saat itu dia sedikit, bahkan sendiri. Disebut sebagai “pengacau”, ketika keyakinan leluhurnya tentang Islam yang berbau mistik coba untuk diluruskan. Saat namanya mengenang dalam sejarah, dia sudah tiada. Mungkin juga dia tidak pernah tahu, jika satu abad kemudian kisah hidupnya difilmkan bukan sebagai “Sang Pengacau”, tapi “Sang Pencerah.” Dan memang seperti itu jalan dakwah para Rasul dan penerusnya. Mulanya disebut pengacau, tetapi keikhlasannya dalam memberikan kontribusi pada umat, mengabadikan namanya dalam ingatan manusia justru ketika ia sudah tiada sebagai Sang Pencerah.

Lalu, apakah hari ini yang diperjuangkan KH. Ahmad Dahlan untuk membersihkan aqidah umat dari syirik, khurafat, dan bid’ah sudah berhasil? Belum. Ternyata musuh-musuh dakwah membingkainya dengan sangat cantik. Ternyata kebathilanpun lebih terorganisir. Kesyirikan sekarangpun berpindah dari tempat-tempat keramat seperti pohon besar, kuburan, berpindah ke majalah-majalah mingguan horoscop, televisi, internet, bahkan ada yang berlangganan melalui ponsel pribadinya. Meskipun di daerah-daerah terpencil syirik kuno itu masih banyak yang melakukannya. Karena memang belum tersentuh dakwah Islam. Butuh kerja keras dari para generasi penerusnya. Bukan hanya tugas Muhammadiyah, tapi setiap lapisan masyarakat yang kini mulai tinggi tingkat keberagamaannya

Zaman KH. Ahmad Dahlan, hari ini, atau bahkan setiap zaman, selalu ada pembangkangan aqidah, dan perusakan moral. Dan dari setiap potongan zaman, akan selalu ada pahlawan Mukmin yang lahir sebagai pelaku yang membenahi kerusakan-kerusakan yang terjadi dalam masyarakat. Dan setiap perbaikan itu pelakunya adalah anak-anak muda.

Ada pemuda seperti Ibrahim yang membabat berhala kemusyrikan dan menentang tirani Namrudz. Ada Musa yang menyelamatkan Bani Israel dari penyembahan terhadap Fir’aun. Ada Shalahudin Al-Ayyubi yang membebaskan Yerusalem dari tentara salib. Thariq bin Ziyad yang menaklukan Andalusia. Mimpi kaum Muslimin untuk menaklukan Konstatinopel pun di pimpin pemuda belia Muhammad Al-Fatih Murad.

Di Indonesia sendiri, setiap krisis yang melanda negeri ini dalam setiap potongan zamannya, hanya dapat diatasi oleh anak-anak mudanya. Kebangkitan Nasional 1908, dipelopori oleh anak-anak muda Boedi Oetomo. Sumpah pemuda 1928 pun pastinya digagas oleh anak-anak muda dari seluruh nusantara. Kemerdekaan Indonesia 1945 juga bukan semata-mata perjuangan dari tokoh-tokoh seperti Soekarno ataupun Hatta. Tetapi desakan keras dari para pemuda Indonesia untuk menculik kedua tokoh tersebut agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Krisis terus berjalan memasuki era orde lama yang dipimpin Soekarno. Kearoganan Soekarno tumbang juga oleh anak-anak muda yang tidak puas dengan kediktatoran Soekarno. Memasuki Orde Baru pun tak jauh berbeda. Soeharto juga lengser dengan cara yang tidak enak dikenang. Dan itu juga oleh anak-anak muda.

Zaman memang sudah berganti. Tetapi sejarah akan selalu diulang. Penodaan aqidah, kerusakan moral, kemiskinan, kebodohan dan masih banyak lagi persoalan yang terus menghayuti negeri ini. Jika setiap potongan zamannya selalu ada pembaru yang membawa perubahan? Lalu kemanakah dia? Apakah dia ada dinegeri ini? Saya hanya khawatir dengan sabda Rasulullah sebelumnya “Dan jika Allah memurkai suatu kaum, maka Allah akan mengangkat orang-orang terjahat dari mereka sebagai pemimpin.”

Tidak. Masa depan negeri ini tidak ditentukan seperti apa pemimpinnya hari ini. Tapi ditentukan seperti apa pemudanya hari ini. Karena pemimpin negeri ini kelak adalah para pemuda yang hari ini mau melakukan perubahan. Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan masih mungkin dibangun di negeri ini. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa kita saat ini. Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini. Masih mungkin. Dengan satu kata: para pemudanya.

Tapi adakah hari ini pemuda seperti Darwis dihadapan kita? Ada. Para pemuda seperti Darwis ada disini. Mereka sedang membaca tulisan-tulisan kacau ini. Mereka adalah aku, kau dan kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk bergerak melakukan perubahan; dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud yang menghiasi peradaban dunia yang baru.

“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Al-Kahfi: 13)

Wallahualam bi shawab

Tangerang, 21 September 2010

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama