Malam itu, ia telah membuat suatu keputusan bersejarah dalam hidupnya. Saya sendiri yang telah menjadi saksi seorang pemuda yang meninggalkan indahnya malam minggu waktu itu, untuk hadir menghabiskan waktunya bersama kami dalam sebuah kumpulan. Ia sadar akan keputusan itu dan tahu bahwa resikonya ia harus berpisah dari kumpulan-kumpulan sebelumnya menuju kumpulan yang lebih baik dan abadi. Kumpulan di mana kami saling melempar senyum dan beruluk salam. Kumpulan dimana kami saling mengajak untuk beriman dan melakukan amal shalih. Kumpulan yang membuat seseorang bermetamorfosis menjadi mukmin yang shalih. Kumpulan dimana mukmin itu harus menjadi kupu-kupu dan mendistribusikan pesona kebaikannya ditengah umat. Kumpulan yang ia pilih itu adalah halaqah Islam.
Malam itu di mushola kecil, tepat tak jauh dibelakangnya berdiri sebuah pusat pembelanjaan termegah di kota Tangerang. Bagi seorang pemuda, malam itu sangatlah menggoda. Malam minggu dengan ritual-ritual jahiliyah modern yang diadakan di pusat perbelanjaan. Ditambah hiruk-pikuk kendaraan di mana muda-mudi yang bukan mahramnya berboncengan sambil berpelukan. Gadis-gadis cantik dengan pakaian balita hilir mudik dipinggir jalan. Tak jarang lewat didepan mushola kecil kami. Tapi itu semua, tak sedikitpun menyurutkan langkah kakinya ke mushola kami. Tak sedikitpun menggoda dirinya untuk bersama kumpulan-kumpulan yang hanya membunuh waktu dan melumuri dirinya dengan maksiat.
Ia duduk bersama kami dalam lingkaran. Mengenalkan dirinya. Dan ia mengutarakan maksud dan tujuannya, “Saya ingin hijrah!”. Itu saja. Pendek, ringkas dan jelas. Kata-kata itu kelak menjadi isyarat bahwa dirinya harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik dengan berkomitmen kepada Islam. Dan itu terbukti di hari-hari selanjutnya ia menjadi orang yang selalu hadir tepat waktu dalam kumpulan kami dan tak pernah ia tak hadir tanpa alasan syar’i. Itu menandakan tekadnya yang membaja untuk berubah
Saya masih ingat, ketika ia pertama kali membaca Al-Qur’an. Terbata-bata dan sedikit di eja. Tapi tak sedikitpun melumpuhkan tekadnya untuk terus belajar. Saya juga masih ingat kalau ia berusaha menahan untuk tidak merokok di hadapan kami karena ia malu melihat kami tak ada yang merokok. Pernah suatu hari ia bercerita bahwa ia memiliki seorang pacar, tapi ia tak berani mengambil keputusan untuk segera menikah atau mengakhiri hubungan haramnya itu.
Dan hari-hari itu terus berjalan. Ia menjadi orang yang pertama. Pertama hadir dalam halaqah. Pertama bergerak dalam setiap agenda-agenda dakwah. Pertama yang meringankan tangannya diantara kami yang mengalami kesusahan. Dan di hari-hari berjalan itu juga ia sudah mulai lancar membaca Al-Qur’an. Bahkan hafalannya pun mulai bertambah. Dan ia juga bercerita, bahwa kebiasaannya berkumpul dengan kami membuat ia terbiasa untuk tidak merokok. Perlahan ia akhirnya berhenti merokok. Dengan bertambahnya ilmu dan iman, tanpa perlu di antara kami menegurnya, ia mengakhiri hubungan haramnya dengan sang pacar.
Hari ini, saat saya menulis tulisan ini, sudah tiga tahun dari malam bersejarah itu, ia sedang berbahagia karena telah menemukan sang kekasih hati. Seorang akhwat shalihah bersanding dengannya di pelaminan. Akhwat yang ia baru kenal satu bulan yang lalu melalui proses ta’aruf (perkenalan) melalui murrabi (pembimbing) kami. Ia telah mengakhiri masa lajangnya. Dan hari ini juga ia meminta kami untuk mengumpulkan anak-anak yatim, dan mengundangnya dihari pernikahannya. Diajaknya makan bersama dan diberi santunan. Subhanallah. Di hari pernikahannya ia masih ingin memberikan suatu yang terbaik untuk dicatat dalam hidupnya.
***
Dalam kehidupan beragama ini, kita mungkin sering bertanya, seperti apakah orang yang baik agamanya itu? Apakah orang yang pengetahuan agamanya cukup banyak? Apakah orang yang bersikap keras dalam beragama? Sehingga mudah dalam mengharamkan sesuatu?
Mungkin kita sering menyaksikan orang yang memiliki pengetahuan agama cukup banyak. Mereka dapat menjelaskan berbagai dalil dengan baik bahkan bisa berdebat dengan fasih, tetapi mereka tidak benar-benar merasakan agama sebagai dorongan dalam bertindak dan penuntun dalam berbuat. Agama tidak memberi inspirasi dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, agama mirip dengan pengetahuan kita tentang biologi atau kimia, meskipun agama tetap memberi pengaruh bagi kehidupan orang yang mengetahui ilmunya, serendah apapun. Acapkali mereka tidak memiliki kebanggaan terhadap agamanya. Acapkali justru perasaan minder ketika berbicara dengan mendasarkan pada seruan agama. Sebagai akibatnya, agama seakan kehilangan relevansinya dengan kehidupan kita sekarang, meski sebenarnya yang terjadi adalah kita tidak pernah berusaha memahami kehendak agama atas kehidupan kita sehari-hari.
Atau di tempat lain, kita juga tak jarang melihat orang yang sedang mengalami euforia dalam beragama. Mereka sedang semangat-semangatnya menjalankan agama sehingga tak jarang sikap mereka berlebihan. Pada umumnya, ilmu agama mereka masih dangkal. Itu sebabnya mereka sering bertindak sangat reaktif tanpa berusaha untuk tabayyun ‘konfirmasi’ ketika menjumpai perbedaan pendapat untuk soal-soal kecil yang guru-guru mereka paling senior justru menerimanya dengan lapang dada.
Sikap mereka yang reaktif dan tampak semangat, sering kita salah artikan sebagai militansi, padahal euforia yang tidak dikendalikan dengan baik justru rentan terhadap futur (terputus di tengah jalan) sehingga justru merusak militansi. Orang-orang yang mengalami euforia sering tampak lebih bersemangat, lebih gegap gempita, dan lebih keras reaksinya terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diyakini. Sikap yang berlebihan itu justru pada gilirannya menyebabkan mereka mudah kehilangan semangat.
Simaklah beberapa nasehat Rasulullah saw. berikut ini;
“Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barangsiapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam Sunnahku (petunjukku) maka dia telah beruntung. Akan tetapi, barangsiapa yang beralih kepada selain itu berarti ia telah celaka.” (HR. Ahmad)
Rasulullah saw. juga pernah mengingatkan Abdullah bin Amr bin Ash r.a., “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Sebelum ini, ia rajin bangun pada malam hari (Shalat Tahajjud), namun kemudian ia tinggalkan sama sekali.” (HR. Bukhari)
Lalu seperti apakah orang yang baik agamanya itu? Cerita diawal tadi, tentang seorang sahabat, mungkin bisa jadi contoh orang yang baik agamanya. Cobalah perhatikan Al-Qura’an berbicara tentang mereka;
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali-Imran [3] : 133-136)
Lihatlah, apakah Qur’an berbicara bahwa mereka yang baik agamanya itu orang yang cukup banyak ilmunya? Atau orang yang pandai berdebat? Atau yang keras dalam beragama dan tidak memudahkan? Padahal Rasulullah saw. memperingatkan kita untuk mempermudah dalam beragama dan bukan mempersulit. Sengaja di ayat itu saya mempertebal beberapa kata, untuk menunjukan ciri-ciri mereka dalam Al-Qur’an.
Mereka bisa jadi telah banyak memiliki ilmu agama atau bisa jadi membaca Al-Qur’an saja sangat kesulitan. Akan tetapi, ada yang mempersamakan mereka, baik yang sudah banyak ilmunya maupun yang awam. Kesadaran bahwa kita sangat lemah dan senantiasa terbuka peluang untuk melakukan kekhilafan membuat mereka mudah menerima tausiyah nasihat dan saran sekalipun dari yang lebih muda. Adakalanya memang mereka masih jauh ilmu agamanya dari memadai, tetapi kesiapan mereka untuk belajar, menerima kebenaran, serta mengubah diri kearah yang lebih baik sesuai batas kesanggupannya, menjadikan mereka mudah disentuh dengan ayat-ayatnya.
Pembicaraan tentang mereka sesungguhnya sangat menari, tetapi saya dapati diri saya masih amat jauh keadaannya dibanding mereka serta sahabat yang saya ceritakan di awal. Tak patut rasanya menuliskan panjang lebar, sementara diri ini masih perlu dipertanyakan. Karenanya, saya cukupkan sampai di sini. Semoga Allah menjadikan kita masuk dalam golongan orang-orang bertakwa, yang baik agamanya. Allahuma amin.
Wallahualam bi shawab.
Tangerang, 17 Juli 2010
Posting Komentar